Banyak aparat penegak hukum menganggap "suap" itu bukan korupsi, karena mereka "sama-sama terbantu" (mutualisme).
Masalahnya sebagai penegak hukum terutama jaksa, mereka punya kuasa untuk memberikan "pilihan" kepada orang untuk menyuap atau tidak menyuap. Kalau anda bayar kita "bantu" kalau tidak "kita (mungkin) persulit", dan perbedaan antara keduanya bagaikan surga dan neraka.
Suap (menerima suap) adalah K.O.R.U.P.S.I.....mau itu 1 miliar atau 1 unit blackberry.
Analogi yang mirip adalah seperti dokter yang bilang ke pasiennya, "kalau anda bayar kita obatin, kalau tidak anda mati".
Menyedihkan.
Karena itu banyak aparat penegak hukum yang selalu bilang bahwa, "meraka tidak butuh masyarakat, masyarakat yang butuh mereka" (masih ingat Evan brimob?). Yang lebih menyedihkan adalah upaya penegakan hukum ini bagi mereka hanya sekedar "bisnis", bisnis yang timbul karena jabatan mereka dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan hukum atau penegakan hukum atau keadilan. Istilah "kejar setoran" sekarang tidak hanya kita dengar keluar dari supir angkot, tapi juga dari mulut penegak hukum.
Perilaku seperti ini sangat menular tidak hanya di kalangan penegak hukum, tapi meluas ke bidang-bidang lain. SDM misalnya, berapa sering anda mendengar bahwa untuk masuk (diterima) ke instansi tertentu anda harus membayar jutaan rupiah. Begitu juga pengadaan barang, tender, izin, pendidikan (karir) bahkan sampai ke hal-hal yang kecil seperti SIM dan KTP. Istilah "mark-up" dan komisi menjadi hal yang wajar.
Di pertamina misalnya, dalam sebulan dibutuhkan kurang lebih $15 juta dollar sebulan untuk membor minyak di dalam tanah. Teknologi pengeboran ini sebagian besar dimiliki oleh kontraktor asing. Coba bayangkan seberapa besar apabila seorang pejabat Pertamina minta 1% saja setiap bulan dari nilai kontrak tersebut selama 1 tahun (biasanya lebih lama). Belum lagi dari bagian pemasaran dalam negeri (PDN), angkanya bisa mencapai ratusan miliar setiap bulan uang rakyat yang dikorupsi.
Perilaku seperti ini tidak hanya menular secara vertikal, tapi juga turun-temurun, dan sedihnya justru pegawai yang bersih malah tersingkir atau terhambat karirnya.
Perbedaan antara dokter dan penegak hukum adalah, dokter sadar kalau mengobati pasien adalah kewajiban dan tanggung jawab profesi yang melekat pada diri seorang dokter, sedangkan jaksa melihat ini sebagai "peluang" untuk berbisnis.
Bayangkan apabila dokter juga melakukan hal yang sama, atau pemadam kebakaran, atau guru.
0 komentar:
Posting Komentar