Dalam minggu terakhir beberapa punggawa di Komisi III DPR sibuk mengklarifikasi soal pengusiran Bibit-Chandra dari RDP. Alasan yang kita dengar dari mereka adalah soal "status tersangka" mereka yang tetap melekat setelah dikeluarkannya deponering tersebut.
Bahkan Gayus Lumbun dan Fahri Hamzah mengaitkan kemungkinan adanya "barter" yang dilakukan KPK supaya dikeluarkannya deponering tersebut.
Perlu dipahami bahwa pendapat beberapa anggota DPR tentang deponering ini adalah keliru.
Keliru bukan karena kaitannya dengan status tersangka tersebut (atau hal-hal lain) tapi simply karena mereka menyamakan kekuatan, kedudukan dan fungsi SKPP yang dikeluarkan sebelumnya (yang kemudian dicabut) dengan deponering itu sendiri.
Deponering itu tidak sama dengan SKPP.
Penjelasan sederhananya begini. Kejaksaan Agung berdasarkan UU (dalam KUHAP dan UU Kejaksaan 16/2004) diberi amanat (atau "pisau" kalau dalam bahasa polisi & jaksa) untuk menghentikan proses penyidikan dan penuntutan dengan dua cara yaitu mengeluarkan SKPP dan/atau Deponering.
SKPP dapat dikeluarkan oleh Kejaksaan karena alasan tidak terpenuhinya syarat formil dan materiil perkara tersebut untuk dilanjutkan ke pengadilan (P 21), misalnya alat bukti kurang lengkap.
Deponering hanya bisa dikeluarkan dengan alasan "Kepentingan Publik/umum", yang bisa ditafsirkan bahwa apabila perkara tersebut tetap dilanjutkan ke pengadilan justru akan merusak atau bertentangan dengan kepentingan publik. Dalam hal ini adalah pemberantasan korupsi oleh KPK yang terganggu selama rekayasa kasus Bibit-Chandra tersebut berlangsung. (Kita semua dengar rekaman di MK).
Keduanya (SKPP dan Deponering) sama-sama menghapus status tersangka, perbedaannya SKPP bisa di challange (di pra-peradilankan) oleh pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya ditemukan bukti baru atau saksi baru. Apabila pengadilan mencabut SKPP tersebut maka kembali status seseorang menjadi tersangka kembali dan melanjutkan proses hukum tersebut ke pengadilan.
Lain halnya dengan deponering, karena berdasar pada kepentingan umum, Deponering TIDAK bisa di pra-peradilankan, begitu dikeluarkannya deponering maka tertutuplah semua pintu untuk melanjutkan proses hukum yang sedang berjalan dan hilanglah status "tersangka" orang tersebut.
Kesalahan yang paling fatal dan menyesatkan adalah ketika dikeluarkannya SKPP oleh Jaksa Agung (Hendarman), dia menulis bahwa "bukti sudah lengkap...namun karena alasan kepentingan umum/publik maka dikeluarkannya SKPP", dimana seharusnya (dan dia tahu) apabila alasannya untuk "kepentingan umum" perkara tersebut HARUS di deponering atau lanjut ke pengadilan BUKAN SKPP.
Kesalahan yang menurut saya disengaja oleh Jaksa Agung tersebut menyebabkan para "ahli" hukum di komisi III terjebak dengan asusmsi bahwa kekuatan SKPP sama dengan deponering padahal keduanya punya tujuan dan kekuatan yang sangat berbeda, ditambah lagi fakta yang perlu kita garis bawahi: (1). Sampai saat ini memang tidak ada bukti dipegang oleh kejaksaan untuk melanjutkan ke pengadilan; (2). Perkara ini belum masuk ke pengadilan, jadi memang bukan kewenangan pengadilan untuk memutuskan (pra-peradilan bukan mengadili perkara substansinya).
Jangan terjebak dengan komentar-komentar wakil rakyat di TV...tetaplah ingat bahwa SKPP tidak sama dengan deponering.
0 komentar:
Posting Komentar