Sebagai penggemar film saya berusaha (keras) untuk mencoba mempelajari dan menikmati film Ketika Cinta Bertasbih (KCB) yang berdurasi 2 jam ini dengan harapan bahwa film ini merupakan sebuah evolusi dari film sebelumnya, yaitu Ayat-ayat Cinta.
Film yang dijejali aktor-aktor senior Indonesia seperti Dedy Mizwar, Didi Petet dan Slamet Rahardjo ini diadaptasi dari novel yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy yang (juga) bercerita seputar kehidupan mahasiswa Indonesia di Mesir.
Selama 10 menit permulaan film penonton akan disajikan dengan pemandangan kota Mesir lengkap dengan piramid dan sungai Nil-nya, sudah sepatutnya, kita semua juga tahu sejak “cap Asli Mesir” di tempel di poster film ini, seperti iklan martabak.
Saya sempat memperhatikan adegan diawal film ketika Duta Besar (Slamet Rahardjo) dan supirnya, Pak Ali (Didi Petet) sedang makan ikan bakar yang dibuat oleh Azzam (Kholidi Asadu Alam) menggunakan “blue screen”, jadi kemungkinan adegan tersebut bukan diambil di Mesir.
Mungkin sebaiknya kita membahas satu persatu dari film ini, saya akan mulai dari sisi sinematografinya dulu. Secara garis besar film ini sangat ramah dengan mata, angle dan photografi dari film ini cukup bagus layaknya sebuah film sungguhan, bukan seperti beberapa film Indonesia lain yang terasa seperti menonton sinetron di TV. Gambar kota mesir dengan sungai Nil mendapat porsi yang cukup banyak yang membuat kita yang belum pernah pergi kesana menjadi paham deskripsi penulis tentang kota tersebut dalam novelnya. Asli Mesir, tidak perlu ada keraguan lagi untuk hal ini.
Dari sisi akting, pemeran utama dalam film ini adalah Azzam (Kholidi Asadu Alam) cerita di film ini berputar di sekelilingnya. Sayangnya akting Kholidi terasa sangat hambar dan sangat kaku, apalagi ketika dihadapkan dengan Didi Petet atau bahkan Alice Norin. Percakapan dalam film ini terasa terlalu dibuat-buat hampir menyerupai drama TVRI beberapa tahun silam.Tokoh utama lain dalam film ini adalah Anna (Oki Setiana Dewi) yang digambarkan (seharusnya) sebagai wanita santri yang berpendidikan tinggi dan sangat halus budipekertinya. Tapi setelah 10 menit melihat gerak-gerik (terutama senyumnya) dan dialognya, Anna terasa sangat dibuat-buat sehingga terkesan hypocrite dan licik. Begitu juga lawan mainnya yang lain, semuanya terasa sangat generik dan dipaksakan. Tanpa para aktor senior, apabila dibandingkan dengan Ayat-Ayat Cinta atau bahkan pemeran anak-anak di film Laskar Pelangi, dari sisi kualitas akting KCB jauh tertinggal.
Mungkin ini bukan murni kesalahan para aktor-aktor muda di film ini yang dicasting secara besar-besaran, akan tetapi penulis skenario film ini juga ikut bersalah dengan membuat dialog-dialog yang sangat tidak alami. Jujur saja, mahasiswa Indonesia, dimanapun mereka berada akan berbicara seperti layaknya mahasiswa Indonesia yang kuliah di Bandung atau di Jakarta. Mungkin penulis skenario lupa bahwa penonton bisa merasakan sentuhan, kesedihan dan kebahagiaan dari apa yang terlihat di layar. Misalnya ketikan Azzam akhirnya dinyatakan lulus, Azzam berteriak, berlutut memeluk temannya sambil menangis tersedu-sedu seolah-olah dia satu-satunya orang yang selamat dari serangan nuklir. Tapi beberapa detik kemudian air matanya mendadak hilang dan ia kembali membuat tempe. Terlalu berlebihan.
Sekarang dari sisi cerita.
Saya termasuk salah satu orang yang selalu terserang “refrigerator effect” (RE) sehabis menonton sebuah film. RE merupakan reaksi logik terhadap efek visual atau alur cerita dari sebuah film yang biasanya timbul setalah sipenonton sedang santai, membuka kulkas dan mendadak menemukan bahwa suatu hal tidak masuk akal dalam film yang barusan ia tonton. Misalnya, di film KBC ini, menceritakan seorang mahasiswa Indonesia yang secara mustahil...maaf mukjizat, kuliah di Al’Azhar University selama 9 tahun sambil berjualan tempe. Ya, sekali lagi tempe.
Perhitungannya begini, tempe di Indonesia harganya Rp.10,000/kg (sepuluh ribu rupiah/kilogram). Azzam dalam film tersebut menjual tempenya dengan dibantu teman-temannya sebagai kurir. Digambarkan (dalam satu adegan) kalau ia sehari bisa menjual kurang lebih 2 kilogram tempe. Anggap saja harganya 3 kali lipat dari disini.
(3 x 10,000) x 2 = Rp.60,000/hari
Asumsikan bahwa tiap hari penjualannya sama.
60,000 x 30 = Rp. 1,800,000/bulan
Seandainya 1$ = 10,000 (misalnya)
Berarti, sebulan revenue Azzam adalah $ 180 sebulan.
(belum dipotong ongkos produksi)
MANA MUNGKIN AZZAM BISA HIDUP 9 TAHUN DI MESIR SAMBIL KULIAH DAN MEMBIAYAI KELUARGANYA DI SOLO!!
Itu salah satu contoh refrigerator effect.
Dari hal-hal cerita yang lain, misalnya ketika Furqhan( Andi Arsyil Rahman) mendadak bangkit dari tidur dan mengetahui bahwa dirinya “diperas” oleh seorang wanita yang semalam sebelumnya berhubungan sex (nyotem) dengannya. Furqhan melaporkan pemerasan tersebut ke kepolisian Mesir dan mengatakan bahwa ia telah di fitnah.
Tunggu dulu, fitnah dalam KUHPidana diatur dalam pasal 311 ayat 2 dan 314 ayat 3 dalam lingkup penghinaan, adalah menuduh seseorang melakukan suatu hal (kezaliman) padahal dalam kenyataannya tidak (tidak dapat dibuktikan kebenarannya).
Dalam hal ini memang si wanita melakukan pemerasan, itu sudah jelas, tapi sekali lagi bukan fitnah, karena mereka berdua memang benar melakukan hubungan sex, kalau tidak dari mana si wanita bisa punya gambar mereka berdua. Yang lebih tidak jelas lagi, wanita misterius ini, sungguh sangat misterius, tidak jelas asal-usulnya, tahu-tahunya muncul begitu saja.
Banyak lagi alur cerita (sampingan) yang menurut saya agak dipaksakan hanya untuk sekedar meramaikan cerita film KCB tersebut atau sekedar bumbu.
Secara keseluruhan, apabila anda bukanlah penggemar berat novel karya Habiburrahman El Shirazy atau penikmat film seperti seperti saya, anda akan kecewa.
Pertama, karena memang ada karya tulisan yang memang sepatutnya tetap jadi tulisan saja. Bukan karena tidak akan bagus kalau jadi film, tapi hanya karena yang meng-adaptasi novel tersebut belum tentu mampu membuatnya jadi sebagus tulisannya sehingga banyak hal-hal penting atau detail yang terlewat atau bahkan gagal untuk diterjemahkan ke dalam film. Kedua, karena secara keseluruhan film ini tidak lebih baik dari Ayat-Ayat Cinta.
Terakhir, karena isu yang diangkat dalam film ini yang cukup menonjol adalah seputar isu poligami, yang (lagi) secara dipaksakan oleh penulis dimasukkan untuk sekedar koreksi (pernyataan koreksi) penulis tentang poligami yang tidak ada dalam Ayat-Ayat Cinta.
Satu misteri yang sampai saat ini masih menggangu saya tentang film KCB ini yaitu satu hal, dalam film Islami yang hampir 2 jam ini saya tidak sekalipun melihat ada adegan sholat. Mungkin saya keliru, atau mungkin adegan sholat akan ada di sekuelnya.
(Dik)