If I explain it to you anyway, you wouldn't understand

Selasa, 30 Juni 2009

The triumphal of Environmental NGOs

The battle between environmental NGOs and natural resources companies entered a new chapter when the new law no. 40/2007 was applied last year.

Although the business community saw it as a failed act, the environmental and social community-empowerment NGOs saw it as a right move. The law can be considered as the triumph of environmental NGOs against the natural resources companies according to Zainal Abidin from Indonesia Legal Aid Foundation.

Andika Gunadarma from Hukumonline.com who monitors laws passed by legislators said that law No. 40/2007 has been anticipated since 2005 because the Indonesian business society needed a new law to replace law No. 1/1995 on perseroan terbatas (finite company)

He explained that the new law gives better details about the rights and responsibilities of company directors and commissioners. It was also created to embrace the principles of good corporate governance, business ethics, anti-corruption, and e-government. However, he never anticipated CSR (Corporate Social Responsibility).

Echoing with Andika, Imam Nasima from the Indonesian Centre for Law and Policy Studies told the Globe that the first draft of the Laws No. 40 did not initially have article 74 regarding CSR matter.

It was later included in the final draft by the special committee of DPR chaired by Akil Mochtar from Golkar. Mochtar confirmed that the commission decided to include the CSR matter in the final draft because it thought that this matter must get more attention from natural resources companies.

By including the CSR matter in the law they hoped that in the future, there will be no more cases like those concerning Newmont Minahasa or Lapindo.

The Indonesia Business community, represented by the Indonesian Chamber of Commerce and Business Watch Indonesia, objected to several articles in the law especially article 74 because they thought that it would limit their business activities.

They argued that CSR was simply voluntary acts which should not become obligatory. The argument was also backed by Srie Redjeki, a professor of civil law from the Diponegoro University, she stated that the law was not good for business and the incorporation of the CSR matter in the law was inappropriate since moral responsibility should never become legal responsibility.

On the contrary, Fathi Ahmad from the Natural Resources Law Institute and Jalal from CSR Circle Studies embraced and praised the law while Siti Maimunah from Mining Advocacy Network also void support for the law, saying that companies must be pressured to heed concerns about environmental rehabilitation.

Since the concept of CSR was first introduced in the 1960s by the big wave of environmental movement in the west, it has been well recieved and praised by the world including Indonesia. Furthermore, the Indonesian government has taken a further step by including the concept into the law no.40/2007, an act that considered by many as being a first for the world.

(sumber : smashingyoungman)

Senin, 29 Juni 2009

Computerized Lawyer

Oke, saya sudah lama mendengar istilah ini, "computerized lawyer", sudah beberapa kali saya utarakan di kantor tapi masih dapat resistensi yang cukup kuat, jadi sekarang berhubung ini blognya gua, gua bisa tulis apa aja...hmwahahahaha (tertawa licik).

Lawyer pada dasarnya merupakan pekerjaan yang tergolong pra-sejarah, dari jaman orang-orang masih pada nulis diatas batu pekerjaan lawyer sudah ada. Dahulu orang yang punya kemampuan "lawyering" biasanya sudah tua dan sangat disegani, misalnya pemimpin desa, karena banyak hukum yang belum tertulis pada waktu itu, dan tentu saja orang yang hafal dengan semua kaidah hukum (sosial) di lingkungan tersebut bisanya sesepuh-sesepuh. Semua orang di lingkungan tersebut yang punya masalah hukum, larinya pasti ke sesepuh (tetua) desa tersebut.

Semua berjalan persis seperti itu dimanapun, dan pada umumnya agama adalah sumber hukum yang mengatur hubungan antar manusia....sampai akhirnya ajaran agama-agama tersebut bertemu dan bersinggungan. Para pemuka agama yang menjadi pimpinan hukum.

Sampai akhirnya ditemukan alat cetak (printing-press)...mendadak dalam waktu yang singkat semua orang bisa belajar hukum dan semenjak itu informasi bergerak dalam kecepatan yang jauh lebih cepat.

Informasi dan pengetahuan, nilainya berkurang, karena interaksi langsung antara sipemegang ilmu dan pelajar menjadi jauh, banyak nilai-nilai yang tidak bisa sampai secara utuh karena timbul penafsiran-penafsiran baru tehadap ilmu tersebut...terutama ilmu hukum.
Akan tetapi segi positifnya tetap ada, semua orang bisa belajar dan terpancing untuk mengembangkan ilmu yang telah diciptakan tersebut.

Hal ini terus berlanjut ratusan tahun, sampai akhirnya pada tahun 1970-an seorang ilmuwan militer (Amerika), menemukan teknologi yang kita kenal sekarang dengan sebutan INTERNET.

Semenjak itu informasi bergerak dalam kecepatan cahaya, dan dalam jumlah yang luar biasa besar. Sangat besar sampai terkadang kita sendiri bingung untuk memilah-milah mana informasi yang akurat dan reliable, karena saking banyaknya.

Demikian pula dengan ilmu hukum dan semua informasi tentang hukum. Masyarakat menjadi memiliki akses yang sama besarnya dan sama lengkapnya dengan para Lawyer, khususnya Lawyer yang bisa pakai internet.
Lawyer, dalam hal ini lawyer yang sudah sangat senior umumnya tidak familiar dengan komputer apalagi internet. Bukan karena mereka sudah tua dan tidak mau belajar, tapi semata-mata karena praktisi hukum sangat sulit untuk mengubah cara mereka berpraktik hukum dan metode riset yang konvensional sudah mendarah-daging sehingga sulit untuk berubah.

Lantas apa yang membuat lawyer-lawyer ini memiliki pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan orang non-hukum ketika informasi sudah bisa didapat dimana-mana?

Jawabannya adalah cara penalaran hukum, filosofi, analogi serta kemampuan interaksi langsung yang mereka miliki terutama apabila mereka punya spesialisasi. Misalnya, perburuhan, keluarga, pidana, perbankan, pasarmodal dan lain-lain. Lawyer tanpa spesialisasi di jaman sekarang dan kedepan akan cepat hilang, tidak terpakai karena kemampuan mereka tidak ada bedanya dengan orang yang punya akses internet.

Jadi kalau sekarang saya tanya, apa sih sebenarnya Computerized Lawyer itu?
Jawabannya cuma satu...

Lawyer yang resourcesul, adalah lawyer yang akses hukumonline.com

Selesai sudah.

Cinta & Tasbih Asli Mesir?

Sebagai penggemar film saya berusaha (keras) untuk mencoba mempelajari dan menikmati film Ketika Cinta Bertasbih (KCB) yang berdurasi 2 jam ini dengan harapan bahwa film ini merupakan sebuah evolusi dari film sebelumnya, yaitu Ayat-ayat Cinta.
Film yang dijejali aktor-aktor senior Indonesia seperti Dedy Mizwar, Didi Petet dan Slamet Rahardjo ini diadaptasi dari novel yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy yang (juga) bercerita seputar kehidupan mahasiswa Indonesia di Mesir.
Selama 10 menit permulaan film penonton akan disajikan dengan pemandangan kota Mesir lengkap dengan piramid dan sungai Nil-nya, sudah sepatutnya, kita semua juga tahu sejak “cap Asli Mesir” di tempel di poster film ini, seperti iklan martabak.
Saya sempat memperhatikan adegan diawal film ketika Duta Besar (Slamet Rahardjo) dan supirnya, Pak Ali (Didi Petet) sedang makan ikan bakar yang dibuat oleh Azzam (Kholidi Asadu Alam) menggunakan “blue screen”, jadi kemungkinan adegan tersebut bukan diambil di Mesir.
Mungkin sebaiknya kita membahas satu persatu dari film ini, saya akan mulai dari sisi sinematografinya dulu. Secara garis besar film ini sangat ramah dengan mata, angle dan photografi dari film ini cukup bagus layaknya sebuah film sungguhan, bukan seperti beberapa film Indonesia lain yang terasa seperti menonton sinetron di TV. Gambar kota mesir dengan sungai Nil mendapat porsi yang cukup banyak yang membuat kita yang belum pernah pergi kesana menjadi paham deskripsi penulis tentang kota tersebut dalam novelnya. Asli Mesir, tidak perlu ada keraguan lagi untuk hal ini.

Dari sisi akting, pemeran utama dalam film ini adalah Azzam (Kholidi Asadu Alam) cerita di film ini berputar di sekelilingnya. Sayangnya akting Kholidi terasa sangat hambar dan sangat kaku, apalagi ketika dihadapkan dengan Didi Petet atau bahkan Alice Norin. Percakapan dalam film ini terasa terlalu dibuat-buat hampir menyerupai drama TVRI beberapa tahun silam.Tokoh utama lain dalam film ini adalah Anna (Oki Setiana Dewi) yang digambarkan (seharusnya) sebagai wanita santri yang berpendidikan tinggi dan sangat halus budipekertinya. Tapi setelah 10 menit melihat gerak-gerik (terutama senyumnya) dan dialognya, Anna terasa sangat dibuat-buat sehingga terkesan hypocrite dan licik. Begitu juga lawan mainnya yang lain, semuanya terasa sangat generik dan dipaksakan. Tanpa para aktor senior, apabila dibandingkan dengan Ayat-Ayat Cinta atau bahkan pemeran anak-anak di film Laskar Pelangi, dari sisi kualitas akting KCB jauh tertinggal.

Mungkin ini bukan murni kesalahan para aktor-aktor muda di film ini yang dicasting secara besar-besaran, akan tetapi penulis skenario film ini juga ikut bersalah dengan membuat dialog-dialog yang sangat tidak alami. Jujur saja, mahasiswa Indonesia, dimanapun mereka berada akan berbicara seperti layaknya mahasiswa Indonesia yang kuliah di Bandung atau di Jakarta. Mungkin penulis skenario lupa bahwa penonton bisa merasakan sentuhan, kesedihan dan kebahagiaan dari apa yang terlihat di layar. Misalnya ketikan Azzam akhirnya dinyatakan lulus, Azzam berteriak, berlutut memeluk temannya sambil menangis tersedu-sedu seolah-olah dia satu-satunya orang yang selamat dari serangan nuklir. Tapi beberapa detik kemudian air matanya mendadak hilang dan ia kembali membuat tempe. Terlalu berlebihan.

Sekarang dari sisi cerita.

Saya termasuk salah satu orang yang selalu terserang “refrigerator effect” (RE) sehabis menonton sebuah film. RE merupakan reaksi logik terhadap efek visual atau alur cerita dari sebuah film yang biasanya timbul setalah sipenonton sedang santai, membuka kulkas dan mendadak menemukan bahwa suatu hal tidak masuk akal dalam film yang barusan ia tonton. Misalnya, di film KBC ini, menceritakan seorang mahasiswa Indonesia yang secara mustahil...maaf mukjizat, kuliah di Al’Azhar University selama 9 tahun sambil berjualan tempe. Ya, sekali lagi tempe.

Perhitungannya begini, tempe di Indonesia harganya Rp.10,000/kg (sepuluh ribu rupiah/kilogram). Azzam dalam film tersebut menjual tempenya dengan dibantu teman-temannya sebagai kurir. Digambarkan (dalam satu adegan) kalau ia sehari bisa menjual kurang lebih 2 kilogram tempe. Anggap saja harganya 3 kali lipat dari disini.

(3 x 10,000) x 2 = Rp.60,000/hari
Asumsikan bahwa tiap hari penjualannya sama.
60,000 x 30 = Rp. 1,800,000/bulan
Seandainya 1$ = 10,000 (misalnya)
Berarti, sebulan revenue Azzam adalah $ 180 sebulan.
(belum dipotong ongkos produksi)

MANA MUNGKIN AZZAM BISA HIDUP 9 TAHUN DI MESIR SAMBIL KULIAH DAN MEMBIAYAI KELUARGANYA DI SOLO!!

Itu salah satu contoh refrigerator effect.

Dari hal-hal cerita yang lain, misalnya ketika Furqhan( Andi Arsyil Rahman) mendadak bangkit dari tidur dan mengetahui bahwa dirinya “diperas” oleh seorang wanita yang semalam sebelumnya berhubungan sex (nyotem) dengannya. Furqhan melaporkan pemerasan tersebut ke kepolisian Mesir dan mengatakan bahwa ia telah di fitnah.

Tunggu dulu, fitnah dalam KUHPidana diatur dalam pasal 311 ayat 2 dan 314 ayat 3 dalam lingkup penghinaan, adalah menuduh seseorang melakukan suatu hal (kezaliman) padahal dalam kenyataannya tidak (tidak dapat dibuktikan kebenarannya).

Dalam hal ini memang si wanita melakukan pemerasan, itu sudah jelas, tapi sekali lagi bukan fitnah, karena mereka berdua memang benar melakukan hubungan sex, kalau tidak dari mana si wanita bisa punya gambar mereka berdua. Yang lebih tidak jelas lagi, wanita misterius ini, sungguh sangat misterius, tidak jelas asal-usulnya, tahu-tahunya muncul begitu saja.

Banyak lagi alur cerita (sampingan) yang menurut saya agak dipaksakan hanya untuk sekedar meramaikan cerita film KCB tersebut atau sekedar bumbu.

Secara keseluruhan, apabila anda bukanlah penggemar berat novel karya Habiburrahman El Shirazy atau penikmat film seperti seperti saya, anda akan kecewa.
Pertama, karena memang ada karya tulisan yang memang sepatutnya tetap jadi tulisan saja. Bukan karena tidak akan bagus kalau jadi film, tapi hanya karena yang meng-adaptasi novel tersebut belum tentu mampu membuatnya jadi sebagus tulisannya sehingga banyak hal-hal penting atau detail yang terlewat atau bahkan gagal untuk diterjemahkan ke dalam film. Kedua, karena secara keseluruhan film ini tidak lebih baik dari Ayat-Ayat Cinta.
Terakhir, karena isu yang diangkat dalam film ini yang cukup menonjol adalah seputar isu poligami, yang (lagi) secara dipaksakan oleh penulis dimasukkan untuk sekedar koreksi (pernyataan koreksi) penulis tentang poligami yang tidak ada dalam Ayat-Ayat Cinta.


Satu misteri yang sampai saat ini masih menggangu saya tentang film KCB ini yaitu satu hal, dalam film Islami yang hampir 2 jam ini saya tidak sekalipun melihat ada adegan sholat. Mungkin saya keliru, atau mungkin adegan sholat akan ada di sekuelnya.

(Dik)